Kembali lagi di JOI Weekend, dimana saya, setelah menunggu lama; sekali lagi melumpahkan uneg–uneg saya tentang berbagai tren yang kurang menyenangkan pada cerita isekai dan karya fiksi secara umum.
Saya melihat tren ini kemungkinan besar diakibatkan oleh proses kreatif dewasa ini yang sudah sampai ke titik dimana pembuatan proyek media yang budget-nya terus meninggi memaksa pihak produksi bermain aman, sehingga membuat isinya terlalu repetitif dan steril. Sementara proyek yang ambisius dan kreatif dilihat terlalu berisiko sehingga mereka diberikan budget yang terlalu rendah dan kualitasnya pun tidak bisa maksimal.
Sebelumnya saya sudah menjelaskan tentang masalah umum di mekanisme dunia dan gaya penulisan genre ini. Seperti yang sudah dijanjikan, kali ini kita akan mengulas tentang penggunaan tema, progresi cerita, dan karakterisasi.
It tend to fails having an actual theme or drive
Light Novel, bila disimpulkan secara kasar dan pesimistis; adalah sebuah medium cerita yang mayoritas kualitas penulisannya tidak cukup bagus untuk menjadi sebuah novel, dan tidak cukup menarik ataupun kurang memiliki staying power (kecocokan untuk serialisasi panjang) untuk menjadi sebuah manga. Sehingga Light Novel sangat bergantung pada premis cerita yang menarik dan/atau (sayangnya) desain karakter yang berkualitas.
Premis cerita yang menarik tidak akan berarti tanpa eksekusi yang baik juga. Membuat ide yang menarik atas dasar sebuah cerita itu mudah, namun untuk menggerakkan cerita tersebut dibutuhkan sebuah tema yang konsisten dan motivasi yang jelas dari para karakter sentralnya. Tema dan Motivasi penggerak adalah dua hal yang seringkali dilupakan setelah pengenalan premis dilakukan, dan efeknya sangat fatal untuk sebuah cerita yang panjang.
Luffy ingin menjadi raja bajak laut karena dia ingin benar-benar bebas, Naruto ingin menjadi Hokage agar dicintai Konoha. Motivasi tersebut mendorong mereka untuk menjadi lebih proaktif untuk mencapai tujuan tersebut sehingga cerita dapat terus bergerak, walaupun tentu saja kadang pergerakan tersebut momentumnya cenderung melambat di arc tertentu (Dressrosa, Ninja War)
Tanpa motivasi tujuan, Lord of the Ring adalah cerita tentang gelandangan yang mencuri perhiasan
Kegagalan dalam memberikan motivasi pendorong seringkali ditunjukkan dengan karakter yang reaktif, karakter yang “nyasar” dari satu plot-point ke plot-point lainnya. Motivasi mereka umumnya adalah “Ingin hidup normal/damai” atau “melindungi hal yang disayangi”. Hal ini menyebabkan cerita bergerak bukan karena konsekuensi aksi karakter tersebut namun karena ceritanya menuntut sebuah plot-point terjadi ke karakter tersebut. Sayangnya cerita yang memiliki tema dan motivasi yang jelas sekalipun bisa saja lupa dengan kedua hal tersebut. Saya terlalu sering melihat hal ini terjadi karena sebuah cerita terlalu takut untuk mengubah status quo yang ada.
Sebuah seri panjang kualitasnya seringkali jatuh akibat penjagaan status quo ini. Efeknya dapat dilihat lewat cerita yang tidak mampu lagi menelusuri tema sentralnya dengan menarik atau mengulang motivasi lama yang seharusnya tidak relevan lagi.
Entah kenapa hanya Jojo saja yang bisa leluasa melakukan reboot secara rutin agar ceritanya tetap segar
Singkatnya: Premis hanya mampu digunakan untuk menarik minat. Namun untuk mempertahankannya diperlukan tema dengan karakter dengan motivasi yang menarik. Untuk seri anime, akhir-akhir ini saya lebih sering dikejutkan oleh premis cerita yang standar dengan eksekusi yang biasa saja. Sudah terlalu banyak anime dengan premis orisinil yang gagal total dalam menawarkan cerita yang menarik. Karena alasan ini juga saya selalu menghindari adaptasi LN dengan cerita atau tema yang “serius.”
Masih soal motivasi, mari kita liat lebih lanjut bagaimana motivasi diperkenalkan dan dikembangkan.
Insistince on making the character relatable in the first Introduction
Tantangan terbesar seorang penulis adalah mereka harus dapat membuat karakter sentral yang empatetik, seseorang yang dapat dipedulikan kehidupannya, seseorang yang memiliki motivasi, kepribadian, dan kompetensi tertentu yang membuat kalian peduli melihat mereka menghadapi berbagai tantangan hidup. Sebuah dunia, premis, dan tema yang menarik tetap akan sulit diserap bila para pelaku cerita tersebut membosankan dan/atau menyebalkan.
Oleh karena itu untuk memancing empati para karakter utama cerita Isekai, terutama yang sangat paham dengan demografi pembacanya; selalu saja seorang Otaku, Hikki-NEET, dan memiliki kepribadian anti-sosial yang dalam konteks dunianya dianggap sebagai kepribadian yang keren.
Untuk masalah yang satu ini saya tidak terlalu menyalahkan genre ini karena baik di dunia film, buku, ataupun game entah buatan barat atau timur masalah ini terus saja ada. Masalah yang saya maksud adalah “Assumed Emphaty.”
Selamatkan dunia, keluargamu dalam bahaya, lindungi tempat tinggalmu, hal-hal semacam itu umum menjadi motivasi yang simpatetik untuk karakter dan tentu saja cukup sederhana untuk dimengerti. Hanya saja karena saking sederhana dan kelewat seringnya motivasi tersebut digunakan, sebuah cerita sering melompati proses dimana kita mengembangkan kepedulian tersebut dan langsung mengasumsikan kita menerima motivasi itu.
Sebagai contoh, mari kita lihat cara yang sangat efektif dalam menjalin empati dari adegan pembuka Up dibawah.
Di cerita yang kualitasnya tidak sebaik itu, umumnya mereka sudah puas dengan adegan yang mengatakan “Istri sang pak tua meninggal dan sekarang dia sedih dan marah” untuk memperkenalkan motivasi cerita ke penonton. Namun Pixar berhasil menyampaikan suka dan duka kehidupan Carl dan Ellie dalam 4 menit, adegan tersebut adalah adegan yang diterima penonton sebagai “Ellie mati dan keduanya gagal mencapai impian mereka.”
Kesalahan yang sering dilakukan penulis cerita adalah menganggap simpati pembaca dapat dengan mudah didapatkan dengan menunjukkan masa lalu yang tragis atau memiliki hobi/preferensi yang sama dengan demografi pembacanya. Hal itu menunjukkan kemalasan dalam pembuatan karakter, dan kegagalan dalam memahami bahwa yang perlu mereka lakukan untuk menumbuhkan empati adalah menunjukkan para karakter tersebut hidup.
Hal ini juga bisa diterapkan pada karakter antagonis. Ini juga alasan kenapa Kira adalah antagonis paling memorable dari seri ini
Efek dari kemalasan ini dapat terlihat jelas oleh karakter yang didesain sebagai archetype lebih dahulu dan manusia belakangan, karakter yang motivasinya selalu saja disebabkan oleh tragedi karena shock value merupakan cara paling mudah untuk memancing simpati, dan karakter yang seakan-akan tidak punya hidup di luar orbit sang karakter utama. Hal ini juga yang mengakibatkan marajalelanya tokoh utama yang karakterisasinya adalah Hikki-NEET, Otaku, dan berbagai pondasi self–insert lainnya.
They have no idea on how to do a character arc
Saya sudah menjelaskan bagaimana kemalasan dalam melakukan karakterisasi dan world building mengakibatkan timbulnya banyak karakter yang hanya relevan bila mereka berada di “orbit” sang karakter utama. Tapi sebuah cerita yang berfokus pada relasi dan interaksi karakter sentralnya saya akui bisa mendapat sedikit dispensasi dari tuntutan atas pembuatan dunia yang masuk akal, karena menjelaskan berbagai detail dunia tersebut prioritasnya tidak setinggi eksekusi drama yang efektif.
Namun itu hanya berlaku bila interaksi antar karakternya menarik, sebuah cerita harus mampu memberi tantangan yang segar untuk para karakter dan memberi perkembangan atau mengungkap detil lebih mendalam dari karakter tersebut dari cara mereka mengatasi masalah tersebut, karena karakter yang statis dari awal sampai akhir itu sulit dibuat menarik. Banyaknya kegagalan dalam mengembangkan karakter disebabkan oleh penulis yang tidak mampu membuat character arc yang memuaskan atau malah tidak memberikannya ke karakter sama sekali.
Sebuah character arc yang baik selalu melibatkan perubahan Etos dan bukan perubahan Skala. Banyak cerita yang menganggap memberi sebuah karakter peningkatan baru, yang karena topik artikel ini adalah topiknya genre isekai hal ini selalu ditunjukkan dengan pembelajaran skill baru, peningkatan level kemampuan, anggota harem baru, dan musuh dengan jabatan lebih tinggi dari yang sebelumnya (yang seringkali berujung pada dewa penghancur dunia dan semacamnya) sebagai indikator perkembangan karakter. Itu adalah contoh perubahan Skala yang saya maksud.
Saya punya sentimen sejenis dengan game yang memiliki ratusan jam “konten” ataupun dunia open world yang “luas”
Sementara perubahan Etos seringkali melibatkan perubahan perspektif atau pemahaman sebuah karakter, entah dari sisi mereka sendiri atau orang lain. Tentu saja hal paling sederhana dalam melakukan hal ini seringkali ditunjukkan dengan karakter yang memberi persahabatan kesempatan, mengakui kekurangannya, dan menyadari kalau mungkin “teman” yang terlalu dekat dengan dirinya mencintainya.
Tentu saja perkembangan Etos tersebut harus PANTAS didapatkan karakter tersebut. Etos yang dimiliki sang karakter harus terus diuji dengan tegas sampai ke titik dimana Etos tersebut berubah kearah lain ataupun berkembang menjadi lebih kuat karena pengalamannya membuatnya lebih bijaksana. Perkembangan yang terlalu cepat akan merendahkan impact dari perubahan tersebut sementara perkembangan yang terlalu lambat (contoh: 99% seri romcom) hanya akan membuat pembaca terlalu frustasi untuk peduli dengan hasilnya.
Event ini adalah contoh perubahan etos favorit saya
Fokus pada skala menyebabkan sebuah seri yang terlalu bergantung pada kuantitas, yang bisa kalian lihat gejalanya dengan penambahan waifu pada sebuah seri harem dan peningkatan jumlah karakter yang sekali tampil langsung buang karena sang penulis tidak mampu mengembangkan karakter yang ada. Saya menyebut penyakit ini sebagai “Cast Bloat”
The Cast tend to get bloated
Ini adalah penyakit yang paling sering membunuh sebuah seri romcom/harem akibat fokus karakternya semakin berantakan, dan membuat karakter dari seri action menghilang karena tingkat kemampuannya tidak relevan lagi dengan tingkat konflik sebuah seri.
Saya tidak terlalu menyalahkan penulis atas penyakit ini, karena seringkali hal ini diakibatkan oleh campur tangan pihak editorial yang butuh “produk dagangan” baru. Hal ini kadang bisa sangat membantu sebuah seri karena Cell dari Dragon Ball dibuat atas saran editor, namun bisa juga menurunkan kualitas cerita karena editor menuntut pembuatan sebuah “maskot” atau karakter yang didesain untuk menarik segmen pasar tertentu, contohnya Sasuke dari Naruto.
Tentu saja seperti yang dijelaskan poin sebelumnya, ketidakmampuan penulis untuk menggunakan karakter yang sudah tersedia juga menjadi sebab terjadinya hal ini. Sejauh ini “solusi” yang saya tahu untuk meredam penyakit ini adalah “Be Eiiciro Oda”, yang walaupun karakternya banyak, mayoritas tetap relevan dengan cerita; ataupun rajin merotasi karakter yang menjadi fokus cerita seperti yang dilakukan Boku no Hero Academia.
Menutup editorial saya ini, pertama-tama saya harus minta maaf fokus artikel ini lepas dari genre isekai dan lebih kearah penulisan cerita secara umum. Saya juga merasa contoh dan solusi yang saya tawarkan masih bisa dikembangkan lagi. Saya berharap dari artikel ini pembaca dapat semakin baik memahami kenapa sebuah cerita gagal dan berhasil.
Apakah kalian memiliki klise atau aspek yang kurang disukai atau ingin lebih banyak diulas lagi dari genre isekai? Silahkan kalian tulis pada komen dibawah.
The post [JOI Weekend] The Isekai Problem Part 2 appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.