“YES WE WERE BORN TO MAKE HISTORY!”
God I really can’t get that song out of my head. Surprising I know, Signum yang biasanya mengulas anime–anime yang berbau harem dan penuh dengan wanita kini berganti haluan jadi nonton film yang tidak biasa ditontonnya. Memang seharusnya yang biasanya jadi tumbal untuk seri seperti ini sebenarnya Nugrahadi, namun insan yang bersangkutan sayangnya sedang berhalangan jadi siapa lagi yang harus dikorbankan selain saya?
Seperti yang saya utarakan di artikel sebelumnya, harapan saya dan mungkin banyak orang lain agak, krompyang setelah melihat kalau anime ini akan penuh dengan literally orang-orang bernama Yuri dan bukan ‘yuri’ yang itu. Pada awalnya, saya berpikir kalau saya akan jauh-jauh dari seri yang satu ini, namun G4ronk yang terpaksa menonton acara ini bersama waifu aslinya ternyata merekomendasikan karya Studio MAPPA yang satu ini. “Episode satunya sih nggak homo-homo amat,” katanya, thus I decided to dwelve into this series.
Mari kita ulas sebentar mengenai seri Yuri on Ice ini. Seri ini adalah sebuah seri orisinal buatan studio MAPPA yang terbilang cukup baru, karena memang baru dibentuk 5 tahun lalu. Saya juga belum pernah menonton anime garapan studio tersebut sebelumnya, sehingga saya tidak punya benchmark untuk menjadi patokan seberapa bagusnya anime ini dibanding yang lainnya.
Mengenai cerita, seri ini mengikuti kisah Katsuki Yuri, satu-satunya atlet figure skating profesional yang diakui oleh Jepang namun sedang jatuh dalam masa slump. Dia terus melakukan kesalahan di bagian-bagian vital dan kalah di turnamen nasional maupun internasional. Dia kemudian memutuskan untuk istirahat dan pulang kampung untuk sekali lagi mencari motivasinya yang hilang. Namun tiba-tiba, figure skater pujaannya Victor Nikiforov memutuskan untuk melatihnya sendiri setelah melihat video performanya yang diunggah oleh Yuko Nishigori, teman masa kecilnya.
Sekilas seri ini terlihat homo, memiliki kesan super homo, dan mungkin semua indera kesekian saya memberikan peringatan untuk tidak usah dekat-dekat dengan seri ini. Lucunya, setelah menonton seri ini, bisa dibilang Yuri on Ice adalah salah satu seri yang paling saya nanti setiap minggunya. Kenapa? Mari kita bahas satu-satu.
Perhatian: Untuk menghindari komentar-komentar salah sasaran, bagi yang menganggap seri ini downright homo (which probably you got a point there) dan memang tidak ada niatan menonton seri ini, sebaiknya tidak membaca review ini dan silahkan membaca artikel kami yang lain.
The animation pros and cons
Studio MAPPA memang adalah studio yang terhitung baru, dan anime yang digarap studio yang satu ini pun belum sebanyak seri-seri lain. But I have to give credits where it’s due. Animasi Yuri on Ice bisa dibilang sangat halus, terutama saat para pemerannya sedang perform. Kamu bisa melihat bagaimana mereka membuat putaran-putaran dan gerakan-gerakan para figure skater tersebut terlihat super smooth. Saya yakin untuk adegan-adegan tersebut mereka menggunakan jauh lebih banyak frame dari biasanya, and thank the God it’s not 3D CG.
Selain animasi, backdrop yang mereka gunakan dalam seri ini pun digambar dengan baik, memberikan kesan mendetil walaupun tentu masih jauh dari level KyoAni. Secara rata-rata pun anime ini terasa dibuat dengan cukup baik, kualitasnya secara overall terlihat sangat bagus untuk ukuran studio baru.
Ya, saya masih merasa ada beberapa bagian yang kurang berkenan dalam seri ini bila dibandingkan dengan mulusnya animasi figure skating mereka. Di beberapa kesempatan, terlihat terjadi quality drop dan kadang mereka berbicara dengan menggunakan still shot atau panning ke pemandangan supaya mereka tidak perlu menganimasikan gerakan bibir karakter. Ini normal, karena teknik ini umum digunakan di produksi anime untuk menghemat budget.
Namun tetap saya rasa kualitas anime ini secara overall memang berada di atas rata-rata. Minimal kalau kamu suka sakit mata setelah nonton Qualidea Code, nonton ini bisa jadi segar lagi.
Victor’s idiocy
Di antara karakter-karakter yang menarik dalam seri ini, mungkin Victor adalah karakter favorit saya. Makhluk yang satu ini adalah seorang tipikal jenius autis goblok yang tidak selalu ada di serial anime. Saya cukup bosan dengan segala macam jenius eksentrik yang memiliki sifat tinggi hati, merasa paling pintar dan punya motif tertentu di balik tindakan tidak masuk akal mereka, dan susah untuk didekati orang lain.
Victor is acting like an idiot for the sake of being an idiot. Seorang jenius ice skating yang melakukan segalanya seenak udel dan tidak pernah mendengar apa kata orang lain. Living his life in his own pace and seemingly void of any kind of responsibilites, Victor tetaplah juara dunia figure skating dan seorang legenda hidup. Dia memiliki kemampuan jauh diatas siapapun dan tidak main-main saat melatih Yuri yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Sekarang kalau saja dia mengurangi kelakuan-kelakuan suggestive sesama jenisnya itu; saya akan sangat amat bersyukur.
It’s actually kinda funny
Yes, anime yang satu ini sebenarnya cukup lucu dengan humor-humor ringan yang selalu diselipkan dan kelakuan karakter-karakternya sendiri. Memang, mungkin tidak semua penonton berkelamin pria akan mengapresiasi lelucon yang disuguhkan oleh Yuri on Ice, tapi yah diterima saja. We’re not watching a show we should be watching at the moment.
Sumber tawa saya yang paling penting tentu dari kelakuan Victor yang tidak bisa ditebak dan selalu semau gue. Kelakuan kekanakan Yuri Rusia juga menarik untuk dilihat, lalu ada juga Yuko yang tidak bisa berhenti mimisan setiap kali melihat Victor perform di ice rink. Basically they have a nice set of characters that’s quite memorable and living their own traits nicely. Sayang beberapa joke-nya memang bukan untuk para pria.
The fabulous, FABULOUS music
I seriously love their music, lagu pembuka “History Maker” yang dinyanyikan oleh Dean Fujioka dan lagu penutupnya “You Only Live Once” yang dinyanyikan oleh Wataru Hatano sekarang selalu saya putar hampir tiap hari. Wataru Hatano juga adalah seiyuu untuk karakter Georgi Popovich yang sayangnya belum diperkenalkan di 3 episode pertama ini.
Kedua lagu tersebut memberikan feeling upbeat yang penting untuk membuat penonton tetap semangat dalam menonton anime ini. Ending-nya memang catchy dengan lagu EDM dan autotune, namun opening-nya, oh boy the opening song. Kalau tidak ada SPYAIR dengan “Rage of Dust” mereka mungkin lagu ini akan langsung menjadi favorit saya untuk season ini. Selain beat-nya yang superb, perpaduan alunan musik klasik dicampur elektronik modern bikin nagih untuk dengerin terus. Also don’t get me started on the lyrics.
“Don’t stop us now!
The moment of truth!
We were BORN TO MAKE HISTORY
We’ll make it happen, we’ll turn it around!
YES WE WERE BORN TO MAKE HISTORY.”
That’s one hell of motivating lyrics up there. Di luar lagu opening dan ending mereka, lagu-lagu saat mereka perform di atas ice rink pun enak untuk didengar. I went to sleep looping one of their song, namun kalau mau tidur dengan lagu tersebut, cukup dengarkan lagunya saja dan tidak perlu bayangkan pria-prianya. Kecuali kalau kamu emang udah keburu suka.
Saya berharap lebih banyak komposer yang akan mengangkat paduan lagu-lagu klasik dan modern untuk digunakan untuk soundtrack anime.
Homo? Fujobait? You bet there are some!
Yeah, in the end, kita memang sedang melihat anime yang dibuat bukan untuk kaum adam, dan sesusah-susahnya saya menjelaskan anime ini tanpa menyinggung sisi homonya, malah sisi itu yang semakin lama terlihat semakin kuat. Jujur saya pun sering berhenti menonton di tengah jalan, bukan karena mimisan, tapi geli saat melihat interaksi intim antar karakter sama jenis.
Please deh, lo ngapain pegang-pegang, geli anjir.
Fortunately (or unfortunately) they have the right amount of fluff to not be a turn off, and most importantly, it’s fabulous. Dikutip dari perkataan salah satu teman saya di media sosial saat membicarakan mengenai seri ini. It’s like Nijiiro Days all over again, berat kocaknya menutupi beban homonya. Hanya saja bedanya Nijiiro Days fujobait-nya tidak sekuat anime ini.
Verdict: Saya belum homo/10
Serius nonton film ini tidak bakal bikin homo, minimal saya belum jadi homo, kalau kamu membuka pintu ke dunia baru setelah menonton film ini maka, selamat ya? Perpaduan antara elemen homo dan elemen humornya masih cukup berbanding, sampai episode ketiga, supaya kamu masih bisa berpegang kepada prinsipmu masing-masing. Bila kamu menikmati elemen-elemen tersebut then good for you.
Yuri on Ice memang terlihat kurang menarik bagi para kaum adam, but give it a chance, kalau tidak suka ya silahkan di-drop saja. Namun saya masih merekomendasikan anime ini karena animasi yang bagus, lagu-lagu yang enak didengar, dan kebodohan Victor yang selalu membuat saya tertawa. Saya juga suka senyam senyum sendiri melihat kelakuan para karakter dan saat menikmati humor ringan mereka.
M selalu mengekspresikan betapa geli dan cringe-nya dia dengan anime ini, Etherlite sepertinya tidak bisa berhenti bilang kalau saya sudah jatuh terlalu dalam ke jurang homo, Kaptain sendiri walaupun banyak memuji anime ini terlalu capek untuk melanjutkan due to how fabulous it is. G4ronk on the other hand mengatakan kalau animasinya bagus dan totally gay. Personally, saya cukup yakin saya belum homo sih, tapi bagaimana dengan kamu?
The post [3 Eps Rule] Yuri!!! On Ice appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.