Isekai (異世界) adalah kata gabungan dari 異 (I), yang berarti “lain”; dengan (世界) sekai, yang berarti “dunia.” Cerita Isekai umumnya melibatkan karakter dari bumi yang terlempar ke dunia yang bukan bumi karena berbagai alasan. Genre ini luar biasa populer di jagat web novel Jepang. Banyak Light Novel yang diangkat dari Web Novel melihat kesuksesan beberapa seri dengan genre serupa akhir-akhir ini. Sehingga nampaknya kita akan mendapatkan lebih banyak lagi seri serupa diadaptasi ke format anime.
Hanya saja saya mengkhawatirkan kemunculan beberapa “penyakit” yang akan lebih banyak memenuhi season anime kedepannya. Walaupun JOI Weekend kali ini memiliki judul diatas, berbagai pengamatan yang akan saya jabarkan sebenarnya bisa berlaku juga untuk mayoritas genre light novel, manga, dan anime seperti battle harem, fantasy, dan sci–fi sehingga saya juga akan menggunakan karya non-LN/WN sebagai contoh. Perlu diketahui bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya genre dan tema yang buruk, kualitas sebuah cerita sepenuhnya bergantung dengan eksekusi dan presentasinya (image header sendiri dipilih karena merupakan pengecualian dari genre ini.) Literatur terkenal di dunia beberapa diantaranya secara teknis memiliki genre Isekai.
“Write what you know” merupakan saran yang sering diberikan untuk penulis pemula, namun siapapun yang pernah melihat situs fanfic/web novel mungkin pernah membaca beberapa karya yang sangat bisa digunakan sebagai kontra-argumen untuk saran tersebut. Saya tidak mengatakan semua web novel itu buruk dan semua orang yang menikmatinya punya selera rendah, karena salah satu karya favorit saya yang paling ditunggu-tunggu tiap bulannya juga formatnya web novel, bahkan ada web novel isekai yang diadaptasi menjadi film favorit saya di tahun lalu.
Secara teknis Mars adalah dunia lain
Hanya saja terlalu banyak cerita Isekai yang memiliki akar di Web Novel memiliki banyak masalah umum pada penulisan dan eksekusi cerita yang agaknya tidak ditanggulangi (atau bahkan dibiarkan) pihak editorial pada masa transisinya ke bentuk Light Novel. Oleh karena itu berbagai masalah umum tersebut akan saya ulas untuk JOI Weekend kali ini.
Mechanism & Rules that are Broken for the Protagonist Sake
Di Jepang terdapat tipe buku yang cukup terkenal disana namun nyaris tidak pernah ada di negara lain. Buku tersebut adalah Replay Book yang merupakan kumpulan transkrip dari sesi tabletop RPG dengan berbagai tambahan gambar dan materi untuk menjelaskan konteks ceritanya, Sehingga buku tersebut memiliki gaya penulisan semacam:
A: Oke, B kena critical damage di kepala dari pentung Buta Ijo. Lempar dadu untuk efeknya.
B: 10
A: Kepala B pecah berkeping-keping dan serpihan tengkorak B terlempar dengan kecepatan tinggi ke karakter C yang sedang sekarat. B, silahkan buat karakter baru lagi. C, lempar dadu untuk damage.
C: Karakter ini punya skill “Exalted Anoa God Blessing” untuk menghindari efek critical damage sekali sehari. Apa bisa dipakai dalam konteks ini?
A: *Melihat-lihat halaman aturan* Nggak ada aturan untuk penggunaan macem itu, tapi karena konteksnya penggunaannya cukup masuk akal, sebagai GM gue ijinin skill ini bisa diaktifkan.
Record of Lodoss War sendiri merupakan contoh seri besar yang diadaptasi dari replay book, begitu juga dengan anime Chaos Dragon dari season lalu. Di Niconico sendiri banyak replay semacam itu dalam format video. Dengan penjelasan tersebut, mungkin kalian bertanya “Lalu apa hubungannya replay dengan LN/WN?”
Contoh Replay Book, yang kalau tidak ada deskripsi role & roll diatasnya kebanyakan orang akan mengiranya sebagai LN
Saat saya melihat gaya penulisan LN/WN, awalnya saya berpikir kualitas penulisannya terbatas akibat pengalaman dan keahlian sang penulisnya masih kurang, namun setelah membaca beberapa replay saya melihat banyak sekali kesamaan gaya penulisan. Hal ini yang membuat saya yakin ada pengaruh lebih dalam selain yang ditunjukkan dengan gaya penulisan LN/WN yang lebih mirip dengan sebuah transkrip atau screenplay (Dengan Maoyuu sebagai contoh paling kentara.)
Pengaruh lain tersebut adalah penggunaan setting dan sistem “game” dalam cerita. Untuk setting akan saya jabarkan pada poin selanjutnya, sementara untuk sistem game kemungkinan besar kalian dapat jelas melihatnya pada banyak cerita Isekai dan tentunya cerita tentang terjebak di dalam game.
Sistem yang saya maksud disini adalah penggunaan sistem seperti stat-block, progresi kekuatan yang bisa dikuantifikasi (contoh: leveling), penggunaan job/class untuk menggeneralisasi kemampuan dan keahlian karakter, dan seringkali ada institusi atau perserikatan untuk “petualang” yang umumnya dimasuki sang tokoh utama.
Obsesi dalam penggunaan sistem tersebut di cerita Isekai memiliki satu masalah fundamental untuk sebuah seri yang bukan sebuah game. Cerita yang dihasilkan oleh sistem game muncul dari kolaborasi antar pemain dan/atau dengan interaksi pemain dengan konten dan mekanisme gameplay. WN/LN yang umumnya ditulis oleh satu orang saja, yang notabene juga bukan desainer game; seringkali kesulitan untuk menghasilkan interaksi yang organik dari penggunaan sistem game tersebut ataupun memberi penjelasan yang masuk akal kenapa sebuah sistem digunakan, seringkali penjelasannya sebatas “soalnya di game kayak gini kerjanya.”
Efek paling jelas dari masalah ini ditunjukkan lewat karakter yang menjadi kuat dan kompeten tanpa tantangan yang berarti, karena mayoritas sistem game digunakan untuk menopang sebuah power fantasy, cerita tentang terjebak di dalam game sendiri yang notabene terinspirasi banyak elemen MMO-pun seringkali terasa seperti single player RPG karena sang karakter utama dimandat menjadi “tokoh utama” MMO tersebut dan bukan bagian dari ekosistem pemain. Begitu juga dengan karakter yang menemukan exploit yang hanya dia saja yang tahu dari sistem tersebut untuk mendapat keunggulan lebih, karena tidak semua sistem itu balanced, didesain dengan baik, atau hancur tingkat kesulitannya setelah dimainkan ke tingkat tertentu.
Sejujurnya saya tidak keberatan dengan karakter yang overpowered atau curang. Penggunaan sistem game juga bisa saja memberikan sebuah konflik yang menarik dengan segala batasan dan aturannya. Hanya saja seringkali para penulis cerita semacam ini menyelesaikan konflik dengan cara yang tidak memuaskan seperti memberikan karakter kekebalan dari “aturan main,” atau memenangkan konflik karena memiliki angka/level yang lebih besar (contoh: paragraf aksi panjang yang bisa dirangkum dengan “Tinju level 3-mu kalah dengan tinju level 3.5-ku”)
Di beberapa kasus, sistem tersebut bahkan tidak relevan dengan cerita.
Singkatnya: Terlalu banyak orang yang menganggap berbagai sistem dan kemudahan di video game bisa disalin mentah-mentah ke dalam sebuah cerita tertulis. Seringkali sistem game digunakan bukan untuk menghasilkan konflik atau masalah yang menarik namun untuk menjelaskan betapa kuat, hebat, dan pintarnya seorang karakter karena lebih jago dalam bermain game dibanding lawannya.
Masih berhubungan dengan pengaruh game pada cerita, saatnya kita masuk ke bagaimana dunia pada cerita ini didesain.
No Effort in World Building
“Mereka makan apa?” adalah pertanyaan paling efektif untuk mengetes kualitas sebuah dunia fiktif. Untuk kali ini kita akan menggunakan Konosuba sebagai contoh, “Apa yang masyarakat dunia Konosuba makan tiap harinya?”
Salah satu jawabannya adalah “Kubis yang bisa melawan balik.” Di LN-nya sendiri dikatakan bahwa sayuran lainnya juga berperilaku seperti ini. Dijelaskan juga orang-orang yang berprofesi sebagai petani cenderung lebih kuat dan memiliki level lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya. Salah satu metode leveling di dunianya yang tidak terlalu disoroti anime-nya adalah dengan memakan bahan yang umumnya berasal dari fauna atau flora yang langka atau berbahaya.
Jawaban lainnya adalah “Kodok raksasa pemakan manusia,” makanan favorit kota para party tinggal dan sebaliknya. Saat musim kawin tiba nafsu makan para kodok meningkat sehingga banyak orang yang tinggal di daerah pinggiran menghilang. Dengan tingkat bahaya seperti itu “hanya” dianggap sebagai musuh awal para petualang baru, yang secara rutin dikirim untuk mengontrol populasi para kodok.
Jawaban dari “Mereka makan apa?” dapat memberikan cukup informasi bahwa dunia ini lebih ganas dari dunia fantasi pada umumnya dan sang penulis cukup peduli untuk membuat sebuah setting yang fungsional. Walaupun setting Konosuba sendiri menggunakan banyak sistem game yang sudah dijelaskan poin pertama, dunia seri ini cukup meyakinkan dan saya cukup yakin tanpa sistem game-pun dunia dan cerita-nya masih dapat berfungsi dengan relatif baik.
Saya tidak mengharapkan detail super spesifik seperti bagaimana posisi lempeng tektonik dunianya ditempatkan, bagaimana kota terbentuk dan didukung oleh desa dan jalur perdagangan, atau detail lengkap sistem pemerintahan yang mengatur masyarakat tersebut. Namun sayangnya banyak seri yang menjawab pertanyaan sederhana macam “asal makanan,” dengan sihir, teknologi yang tidak dijelaskan lebih lanjut, atau malah tidak digubris sama sekali. Kegagalan ini tidak sebatas di LN/WN saja, tapi juga terjadi di media lain yang melibatkan dunia fiktif seperti game dan film.
Sementara untuk contoh world building yang luar biasa baik, saya sangat menyarankan seri Trails/Kiseki
Untuk sebuah genre yang bernama “dunia lain” banyak penulis yang nampaknya tidak peduli dengan dunia tersebut. Kemalasan dalam membuat setting ini menghasilkan sebuah dunia yang hanya berfungsi bila dipedulikan sang tokoh utama saja. Ini adalah dunia yang menganggap semua orang yang bukan karakter sentralnya sekedar sebagai “NPC,” bukan sebagai individu yang menghidupi sebuah dunia. Dunia tersebut sekedar menjadi taman bermain untuk sang karakter utama, dengan kata lain sebuah dunia yang dibuat dengan mantra “soalnya di game kayak gini kerjanya.”
Menjawab pertanyaan “Mereka makan apa?” dengan jawaban yang memuaskan menuntut para penulis untuk memikirkan bagaimana dunia tersebut hidup. Tentu saja ada pihak yang memiliki sentimen: “Peduli amat sama makanan dan dunia, selama petualangan, waifu, & karakter super keren ada enjoy aja kok sama ceritanya,“ itu memang sentimen yang valid untuk menikmati sebuah karya, namun saya berpendapat pihak semacam ini tidak cocok untuk membuat sebuah karya fiksi.
Contoh karya fantasi yang memiliki “Gimana mereka makan” sebagai premisnya.
Masih banyak aspek yang mau saya jelaskan seperti penggunaan tema, karakterisasi, dan progresi cerita. Namun melihat artikel ini sudah cukup panjang, topik tersebut akan kita simpan dulu untuk part 2 artikel JOI Weekend kali ini.
Header: Pixiv
The post [JOI Weekend] The Isekai Problem Part 1 appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.