Film live-action Shingeki no Kyojin yang pertama sudah selesai ditayangkan di beberapa bioskop tanah air, dan mengacu kepada review milik Nugrahadi, saya cukup setuju bila film pertamanya setidaknya cukup memuaskan. Sebagai film yang berdiri sendiri, tanpa mengacu kepada source materialnya, film live-action tersebut memang setidaknya dapat dinikmati, namun apakah hal tersebut berlaku pada film kedua?
Kembali, JOI diberikan kesempatan untuk menyaksikan pemutaran awal film Shingeki no Kyojin: End of The World atas undangan dari kawan-kawan di Moxienotion. Tentu, saya berharap cukup banyak film ini setidaknya dapat memberikan penutup yang baik karena film pertamanya tidak seburuk perkiraan saya. Namun kritik pedas kritikus film Jepang ini terus menghantui pikiran sampai akhirnya film tersebut dimulai….
… Mulai menghancurkan dirinya sendiri.
What in the world, did I just watch?
No, just. No. Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakannya tanpa spoiler, namun film keduanya ini memang jauh lebih membingungkan dari film pertamanya. Apa yang dituliskan oleh para staf mengenai perubahan besar dalam filmnya adalah benar. Perubahan yang dilakukan memang besar, namun tidak hanya besar, tapi juga absurd.
Bila film pertama menyimpangkan diri mereka dari cerita asli manga milik Hajime Isayama tersebut, film kedua ini menyimpangkan diri mereka dari film pertama. Ya, film ini masih melanjutkan film pertamanya, namun semua perkembangan karakter, plot, serta konsep yang dibangun oleh film pertama terasa cukup sia-sia.
Benar kata penulis naskah Tomohiro Machiyama kalau penggemar akan gerah dengan perubahan karakter yang ditulisnya, saya bukan penggemar Shingeki no Kyojin, saya gerah. Pemilihan Shikishima sebagai karakter rival Eren dalam film ini hanyalah ujung dari gunung es saja, cerita yang membingungkan, pacing yang terlalu dipaksakan, plot yang tidak penting dan adegan-adegan aneh akan menunggumu.
They’re trying hard, too hard
Shingeki no Kyojin: End of The World sebenarnya memiliki cerita yang cukup bisa diikuti, namun pacing mereka dalam film kedua ini saya rasa terlalu cepat, kadang malah terasa aneh dan membuat kamu cengo. Beberapa adegan juga dibuat untuk mengantisipasi sesuatu di masa depan, seakan memberi petunjuk lebih mengenai ceritanya, tapi sampai akhir adegan tersebut tidak (atau belum) ada artinya.
Ada sebuah adegan dimana Hiroki Hasegawa berusaha menjelaskan mengenai asal muasal Titan kepada Haruma Miura, tentu adegan ini tidak ada dalam manganya dan jauh berbeda dengan apa yang diproyeksikan Isayama. Adegan tersebut juga dibuat lebih aneh dengan para karakter yang tiba-tiba berganti baju dan ruangan disulap menjadi tepi pantai. Mengingat film ini berusaha menjadi sangat realis, menurut saya memiliki adegan seperti ini merusak suasana seluruh filmnya.
Akting Shikishima memang sedikit mengundang tawa. Namun saat dia memerankan adegan berkelahi dengan Eren, saya benar-benar kecewa. Akting bertarungnya jauh lebih kaku daripada pertarungan sinetron di TV lokal Indonesia. Tolonglah, film ini bukan level sinetron, seharusnya.
Was that it?
Saya mengakhiri film ini dengan pertanyaan tersebut, bila harus disimpulkan, film ini sangat nanggung. Mereka terlalu banyak menghabiskan waktu di adegan-adegan yang seharusnya tidak perlu, dan memotong adegan-adegan yang seharusnya bisa dibuat lebih baik lagi. Sebut saja adegan pertarungan Eren dan Shikishima terlampau panjang dan tidak perlu, namun pertarungan antar Titan yang seharusnya dibuat lebih panjang malah terasa tanggung.
Sebenarnya, mereka dapat memangkas film pertama dan film kedua untuk membuat satu film dengan durasi yang lebih lama dan lebih baik. Film pertama memiliki sedikit deviasi dari cerita asli Shingeki no Kyojin, namun film keduanya benar-benar melenceng bahkan dari cerita film pertamanya, seakan film pertamanya dibuat hanya untuk memangkas para pemerannya saja.
The Saving Grace
Hanji: Kalau tidak ada Hanji, mungkin saya sudah keluar dari bioskop lebih awal. Peran Hanji sebagai maniak alat militer benar-benar membuat perut saya sakit karena kebanyakan ketawa. Selain itu, paras Ishihara Satomi yang memerankan Hanji pun cantik dan sedap untuk dipandang, setidaknya jadi ada yang bisa jadi bahan cuci mata bila kamu bosan melihat CG Titan.
The Actors: Walaupun cerita filmnya sendiri bukanlah yang terbaik, akting dari para aktornya terasa cukup meyakinkan. Bahkan Armin pun dapat terlihat badass dalam film tersebut. Walaupun beberapa aktornya seperti Shikishima lebih ke arah kocak daripada ganteng, tapi saya cukup menikmati kepiawaian para aktornya.
The Franchise Name: Ya, nama besar seri Shingeki no Kyojin menjadi sebuah peran besar sebagai keputusan untuk moenonton film ini. Sayangnya ceritanya sedikit melenceng dari serial aslinya, jadi sebaiknya kamu menganggapnya sebagai adaptasi independen saja.
Shikishima x Eren: Mungkin yang satu ini tidak berlaku bagi para kaum Adam yang orientasi seksualnya masih straight. Namun ada beberapa adegan yang pastinya menarik bagi para penggemar yaoi. Saya masih bisa membayangkan suara teriakan histeris 1 bioskop saat Shikishima mengelus-elus Eren.
Conclusion: End of The World/10
Pada akhirnya, film Shingeki no Kyojin: End of The World mungkin bukanlah adaptasi Shingeki no Kyojin yang terbaik. Saya juga tidak bisa bilang kalau film ini adalah film yang baik, bahkan saya yakin bagi kamu yang elitis film ini bukan untukmu. Namun bila kamu merasa penasaran dengan misteri dari film pertamanya, ingin dikocok perutnya dengan adegan-adegan aneh, dan ingin melihat Eren yang dielus-elus oleh Shikishima, film kedua ini wajib kamu tonton.