Kualitas, adalah salah satu aspek yang akan dinilai terlebih dahulu oleh para penonton seri anime. Kualitas juga sedikit banyak menentukan apakah seseorang akan terus menonton anime tersebut dari awal sampai akhir, karena banyak orang yang tidak rela terserang kanker mata melihat anime dengan kualitas yang buruk. Tapi ada kalanya seseorang pun rela untuk terus menonton sebuah anime karena penasaran dengan ceritanya walaupun kualitasnya seperti pilar-pilar monorail di bilangan Senayan, tanggung.
Ditulis oleh 3 orang penulis light novel kawakan yang tergabung menjadi 1 unit yang bernama Speakeasy, Koushi Tachibana, Sou Sagara, dan Wataru Watari; sepertinya seri ini akan sangat menjanjikan. Ditambah dengan pengerjaan oleh Studio A-1 Pictures dan disutradarai oleh Kenichi Kawamura yang menangani seri Black Lagoon dan Gunslinger Girl, sepertinya resep untuk sebuah anime yang baik sudah ada di tangan.
Seri ini bercerita mengenai sekelompok anak-anak SMA yang memiliki kekuatan super yang bernama World untuk menumpas Unknown, alien yang datang untuk merebut kebebasan mereka. Mereka melindungi 3 kota: Tokyo, Kanagawa, dan Chiba. Masing-masing karakter memiliki kekuatan unik yang berbeda, ada yang bisa mengendalikan gravitasi, ada yang bisa membekukan musuh, ada juga yang bisa membuat pedang energi sebesar gedung.
Sayangnya, Qualidea Code ini dibuat saat ketiga teman baik tersebut sedang minum-minum, allegedly super drunk, iseng-iseng brainstorming dan tiba-tiba tercipta ide untuk menjadikannya kenyataan. And they did, make it happen. For the better or worse. Saya juga sedikit curiga kalau mereka masih mabuk saat mengalokasikan dana untuk anime ini.
Anime ini menderita kasus kekurangan budget yang cukup berat, saking beratnya hampir semua staf JOI yang menontonnya berhenti di tengah jalan. Hanya 3 orang saja yang berani melanjutkan menonton karena beberapa hal dan berusaha melupakan kalau kualitasnya is not up to our standard, really.
Kenapa kami tetap mau menonton anime yang satu ini di saat rekan-rekan kami berjatuhan? Berikut adalah alasannya:
Impressive characterization and their interaction
Alasan utama saya masih mau menonton seri ini adalah karena karakternya dan voice work para seiyuu yang cukup baik. Namun yang paling ingin saya acungi jempol adalah interaksi para karakternya yang segar dan kocak. Protagonis Ichiya Suzaku yang kerap kali berantem dengan karakter sinis pemalas Chigusa Kasumi yang kebetulan juga siscon kepada adiknya, Asuha. Kita juga punya duo idiot bird brain wanita polos Canaria dan Maihime yang sama-sama kuuki yomenai, untungnya ada Hotaru yang siap menjaganya.
Karakter Kasumi dan Asuha adalah favorit saya dari seri ini, selain sikapnya yang acuh tak acuh, sering membuat Ichiya yang bland menjadi sedikit berwarna. Interaksi kakak-adik siscon tsundere ini juga adalah yang membuat saya bertahan sampai akhir.
Namun sayang, tidak semua karakter dalam seri ini memiliki interaksi yang baik, karakter Asanagi dan Airi yang menjadi wali mereka namun ternyata memiliki peran penting di penghujung cerita. Mereka tidak memiliki spotlight yang cukup atau perkembangan yang mumpuni untuk membuat saya merasa peduli kepada apa yang akan mereka lakukan.
Belum lagi kalau kita berbicara mengenai karakter utama yang seharusnya menjadi sorotan utama dari seri ini, Ichiya Suzaku dan Canaria. Saya cukup yakin bila keduanya dibuang dari seri ini tidak akan ada yang banyak berubah. Karena keduanya memiliki sedikit sekali screen time, apalagi character development? Saya bahkan merasa Kasumi dan Asuha lebih pantas menjadi karakter utama karena merekalah yang sebenarnya memanggul seri ini.
Kebanyakan side character lain pun antara tidak bernama, atau tidak memiliki impact yang cukup untuk diingat namanya. There’s this one, dead, teacher yang sampai sekarang saya tidak bisa ingat namanya, perannya di film, atau kontribusinya walaupun mereka ingin memberikan kesan kalau dia adalah orang yang penting. Now that I’ve thinked about it, the characterization might not be that impressive.
Harapan kalau suatu saat seri ini jadi lebih baik
Which they failed to deliver pretty badly. Harapan dan pikiran “Oh mungkin minggu depan kualitasnya lebih baik.” atau “Semoga plot twistnya berbeda dari tebakan saya.” terus terbersit setiap minggu. Sayang tidak ada dari harapan tersebut yang terpenuhi. Beberapa plot twist di awal seri ini memang cukup mengejutkan, terutama saat banyak karakter yang sepertinya memang sudah berada di ujung tanduk.
Cerita Qualidea Code memiliki premis awal yang menarik, namun sayang mulai dari pertengahan sampai ke akhir season ceritanya menjadi makin mudah untuk ditebak, karakter-karakter sampingan mereka tidak terlalu banyak berkontribusi kepada cerita utama, bahkan karakter utamanya hilang selama beberapa episode karena depresi. Entah apakah saat ketiga penulis tersebut lupa membicarakan konsepnya secara lebih dalam atau terlalu mabuk sehingga sengaja menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setidaknya lagu-lagu Canaria cukup catchy dan enak untuk didengar.
Hopeless budget is hopeless
Tidak ada episode Qualidea Code yang dapat memuaskan saya secara visual, hampir setiap episode penuh dengan:
- Still shot
- Far ‘without any detail’ shot
- Animasi yang incompetent
- Menggambar karakter dari belakang (karena malas menggambar gerakan mulut)
- Proporsi muka (dan terkadang badan) yang berantakan
- Detil-detil yang lupa digambar
Dan saya yakin masih banyak lagi dosa dari Qualidea Code yang seharusnya bisa dimaafkan bila budget-nya tidak begitu minim. Studio A-1 Pictures bukanlah studio baru, kualitas mereka cukup konsisten di seri-seri seperti Sword Art Online dan Bokumachi. Namun bukan berarti mereka lepas dari masalah kualitas, karena seri Idolm@ster: Cinderella Girls juga beberapa kali terlihat kekurangan dana.
Minimal Asuha dan Kasumi tidak jelek, mostly.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, saya sudah keburu mendekati penghujung anime ini jadi kenapa tidak sekalian ditamatkan saja?
Verdict: Budget Habis Untuk Artis/10
Melihat penyanyi yang menyanyikan lagu pembuka dan penutup dari anime ini, saya cukup tercengang. Karena lagu pembukanya dinyanyikan oleh LiSA dan lagu penutupnya dinyanyikan oleh ClariS dan GARNiDELiA. Mungkin memang budget-nya habis untuk membayar para penyanyinya.
Kualitas yang jauh dari standar, dengan cerita yang semakin lama semakin tertebak dan klimaks yang datar membuat anime ini sepertinya tidak bisa saya rekomendasikan. Memang benar ada beberapa momen dimana anime ini masuk ke kategori enjoyable to watch, tapi toleransi pun ada batasnya. Kalau kamu tidak tertarik dengan interaksi karakternya atau kepribadian masing-masing karakter, I’m pretty sure this anime is not for you.
Etherlite
Qualidea Code mungkin satu-satunya seri yang saya tertawakan bukan karena lucu, tapi karena hancurnya sudah keterlaluan lagi. Bahkan saya tidak bisa emosi seperti ketika saya menonton Mayoiga.
Kalau kita coba lihat sisi positifnya sih ada, karakter-karakternya cukup menarik dan OP/ED theme songnya juga sebagian besar enak didengar. Tapi diluar itu? Animasi? Hancur. Cerita? Hancur. Directing? Hancur. Lalu kenapa terus diikuti? Karakter-karakter yang cukup menarik dan teori-teori dari kenyataan yang sebenarnya terjadi itu cukup membuat rasa penasaran ini menyuruh saya: “Paling tidak maso 1 episode lagi bolehlah.” Which was fine... until the truth is out, begitu kebenaran akan dunia mereka terungkap, ceritanya langsung menjadi datar. Cerita yang membosankan ditambah animasi super low budget, menontonnya pun sambil terkantuk-kantuk. Kecuali episode terakhir dimana final battle-nya itu sangat buruk untuk digambarkan sampai saya tertawa. It’s just too bad, you can’t help but to laugh.
Kalau Signum masih memperingati kamu untuk menghindari anime ini bila tidak tertarik dengan kepribadian dan interaksi karakternya, saya bilang ini anime tidak perlu ditonton sama sekali. Masih banyak anime lain di luar sana yang jauh lebih bagus.
The post [Review] Qualidea Code appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.