Apa kalian merasa industri film Jepang sedang mengalami “kemarau” film berkualitas tinggi atau setidaknya produksi film orisinal yang bukan diadaptasi dari media lain? Sepertinya kalian tidak sendirian dalam hal ini.
Adam Torel, produser dari Third Window Films, sebuah perusahaan distributor film Asia untuk pasar Global, mengkritik kualitas film Jepang yang mulai ditinggal jauh oleh para tetangganya seperti China, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand. Dia lalu menjabarkan tiga alasan mengapa kualitas industri film Jepang menurun:
Komite Produksi
Investor memang dibutuhkan untuk mendanai produksi film yang membutuhkan banyak dana untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi, namun investor juga harus percaya pada staf produksi yang cenderung mengambil risiko untuk menghasilkan film yang berkualitas. Hanya saja di Jepang, konsep yang bernama Seisaku Inkai Hoshiki, atau dikenal juga sebagai Komite Produksi; seringkali tidak paham dengan hal itu.
Komite ingin resiko sekecil mungkin agar mereka mendapat keuntungan yang pasti, sehingga mereka cenderung hanya tertarik dengan mengadaptasi seri yang memiliki established fanbase daripada proyek orisinal, dan seringkali mengekang erat staf produksi. Berhubung kreatifitas tidak bisa dihasilkan tanpa risiko kalian bisa lihat mengapa situasi ini tidak sehat untuk industri ini.
Hasilnya, jarang Jepang menghasilkan sutradara yang namanya punya bobot di pasar global seperti Takashi Miike, Hayao Miyazaki, dan Akira Kurosawa. Torel sendiri sampai berpendapat bahwa sutradara Jepang pada umumnya hanyalah boneka komite produksi.
Bayaran Rendah
Walaupun tingkat upah tenaga kerja di Jepang relatif tinggi kalau dibandingkan dengan para tetangganya, bayaran yang diterima staf produksi seringkali tidak mencukupi. Hal ini menurunkan motivasi para staf untuk menghasilkan film yang berkualitas. Torel mengakui Jepang memiliki banyak staf produksi film yang berbakat seperti Tetsuya Nakashima dan Yoshihiro Nakamura, sayangnya dukungan domestik pada mereka tergolong minimal.
Torel sendiri berinisiatif untuk mendanai berbagai proyek film Jepang, baik dengan mensponsori distribusi film seperti Uzumasa Limelight dan me-remaster film lama karya Beat Takeshi (Hana-bi, Dolls) dan Shinya Tsukamoto (Tetsuo: The Iron Man) untuk pasar global. Torel berharap hasil royalti dari film tersebut dapat memotivasi staf produksi untuk terus berkreasi.
Feedback Dari Kritik Rendah
Berbeda dengan media luar jepang yang sering kali kritiknya sangat vokal, Torel merasa para kritikus di Jepang punya kecenderungan untuk tidak terlalu negatif pada sebuah film dan memberikan opini yang terlalu ambigu. Entah ini dikarenakan budaya Jepang yang cenderung mengutamakan kesopanan atau para kritik tersebut “disponsori” oleh komite yang punya kepentingan tersendiri.
Sebuah produk sulit untuk berkembang tanpa feedback yang berkualitas. Kualitas feedback kritikus Jepang yang umumnya lembek nampaknya tidak bisa diandalkan untuk mempengaruhi para pemangku kepentingan di industri film Jepang.
Ketiga alasan diatas juga umum di media kreatif lainnya di Jepang. Merasa media kreatif favorit kalian serasa disaturasi seri dengan premis yang itu-itu saja dengan kualitas pas-pasan? Itu semua terjadi akibat lingkungan kerja yang nampaknya tidak punya niat untuk mendukung kreativitas para kreator.
Sumber: Rocketnews
The post Kenapa Kualitas Film Jepang Menurun? appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.