Pada suatu hari seorang developer melihat game Free-to-play, game gratis yang didesain untuk membuat pemain membayar banyak uang bila tidak ingin disiksa secara psikologis. Anehnya ada saja orang yang sukarela merogoh kocek untuk “memainkan” game semacam ini. Dia lalu berpikir: “Kira-kira pemain cukup bego nggak ya untuk membeli bukan untuk menang, tapi sekedar kemungkinan untuk menang?” Dengan itu lahirlah Gacha Game.
Pada JOI Weekend kali ini saya akan memberikan overview dari lanskap game gacha dan beberapa opini mengenai situasi dan prospek game jenis ini kedepannya. Mari kita mulai dengan skandal yang terbilang cukup populer di genre game ini.
Pada awal tahun 2016 Granblue Fantasy meluncurkan event yang meningkatkan rate SSR di Gacha. Di event tersebut juga dihadirkan SSR limited, Anchira/Antilla. Melihat kombinasi tersebut mungkin kalian bisa menebak apa efeknya pada para pemain, terutama yang punya disposable income (dan non-disposable income, but screw it) yang besar.
Menjelang malam tahun baru, salah satu player Granblue, Taken; menayangkan stream yang menampilkan upayanya untuk mendapatkan Antilla, yang memiliki drop rate kurang lebih 0,12%; lewat Gacha. Setelah 2.276 kali tarikan akhirnya dia berhasil mendapatkannya. Ribuan tarikan tersebut menghabiskan 700.000 Yen atau sekitar 80 Juta Rupiah.
Pemain lain juga mencoba peruntungannya dan setelah 2.522 tarikan yang menghabiskan 810.000 Yen atau sekitar 93 Juta Rupiah, dia sukses TIDAK mendapatkan Antilla.
Mau tahu bagian yang lebih menyedihkan? Beberapa hari setelah insiden tersebut yang melibatkan banyak amarah dan retur pembayaran dari pemain akibat tuduhan manipulasi drop rate Gacha, Cygames meluncurkan Surprise Gacha, dimana pemain dapat memilih SSR yang diinginkan dengan 3.000 Yen atau sekitar 350.000 Rupiah.
Hasilnya? Amarah dahsyat dari para pemain yang sudah membuang banyak uang untuk mendapatkan SSR mereka dan dari pemain yang merasa Cygames cukup lancang untuk menagih mereka uang lagi untuk mendapatkan SSR.
Skandal ini lalu menjadi soroton media mainstream seperti Yomiuri Shinbun dan bahkan mendapat liputan di Mezamashi TV, dimana fenomena ini dianggap sebagai penyakit sosial. Skandal ini juga mendorong ekosistem Gacha Game ke posisi dimana developer game dianggap sebagai “musuh” oleh para pemain.
Beberapa dari kalian yang jadi pemain awal Fate/Grand Order mungkin ingat dengan masalah server dan bug duplikasi item. Akibat hal tersebut, protes dan tuntutan dari pemain yang merasa gamenya menghamburkan energy saat maintenance di tengah event dan Ban yang diberikan secara tidak adil sering dilayangkan. Dulu, masalah seperti ini dapat diselesaikan dengan permintaan maaf dari pihak developer, sekarang bug sekecil apapun akan menjamin banyak pemain untuk menuntut developer. Ini bukan lingkungan yang sehat untuk sebuah industri.
Itu hanya sebagian kecil contoh dari banyak skandal Gacha game, jadi apakah situasinya akan terus begini?
Sedikit sejarah tentang regulasi Gacha di Jepang. Pada tahun 2012 kemarin Consumer Affair Agency (CSA), badan perlindungan konsumen Jepang; menetapkan bahwa implementasi Kompu/Complete Gacha pada game dianggap ilegal. Bagi kalian yang tidak tahu, Kompu Gacha adalah gacha yang memberikan sebagian dari item/unit tertentu, setelah kalian melengkapi item/unit yang diperlukan, baru hadiah diberikan.
Mungkin kalian pernah menghadapi format ini di social/online browser game dulu, trik ini mendorong banyak pemain menghamburkan uang untuk melengkapi kriteria kelengkapan hadiah, yang biasa terjadi saat mereka tinggal mendapatkan satu item/unit lagi. Melihat banyaknya game F2P yang menggunakan cara ini, metode ini terbilang sangat efektif.
Walaupun Kompu Gacha sudah ditetapkan ilegal, masih banyak trik lain seperti Daily Gacha, Consecutive Gacha, Limited Gacha, dan masih banyak lagi untuk mengeruk uang pemain. Melihat situasi ini, sudah banyak pihak yang menuntu regulasi yang lebih ketat untuk Gacha game.
Contohnya adalah adalah Ichirou Yamamoto, jurnalis yang berspesialisasi pada mobile dan social game yang melobi CSA untuk menetapkan regulasi yang lebih ketat. Begitu juga dengan analis kasino dan perjudian, Takashi Kiso; yang seringkali menyatakan bahwa Gacha game berdasarkan “produk” yang mereka jual seharusnya mendapat regulasi yang seketat kasino.
あくまで「300回内に当たらなかった人に対するプレゼント」なので賭博的にはセーフ。但し商品購買に付随する「プレゼント」扱いになった事で、提供されるキャラが晴れて景表法の規制対象に。これで本当に良かったんか?グラブル(笑@kirik @MyNameSatoshi
— 木曽崇:「日本版カジノのすべて」発売中 (@takashikiso) February 25, 2016
Tekanan ini ditambah dengan popularitas skandal Gacha membuat CSA berencana untuk mengamandemen perundangan “Unjustifiable Premiums and Misleading Representations” yang bertujuan untuk memberikan denda pada perusahaan yang dianggap memberikan informasi palsu ataupun menjual produk premium yang terlalu manipulatif. Dialog akan dimulai pada akhir Maret ini.
Melihat perkembangan ini, apakah para developer gacha game Jepang lantas mengubah kebijakan mereka? Di satu sisi, Cygames sendiri sudah lebih transparan dalam menunjukkan drop–rate, memberikan langsung unit yang diinginkan lewat berbagai jalur, dan memberikan batasan pembelian sampai 90.000 Yen. Di sisi lain, baru-baru ini di tanggal 28 Februari kemarin, seorang pemain mencoba mendapatkan Tenkuu Armor Set dari game Hoshi no Dragon Quest.
Sang pemain berhasil mendapatkannya setelah menghabiskan 2 Juta Yen atau 230 Juta Rupiah, pemain ini bisa dibilang menetapkan rekor pengeluaran gacha tertinggi yang pernah diliput JOI. Tentu saja tuduhan bahwa Square Enix memanipulasi drop rate kembali dilayangkan. Hal ini terjadi entah karena mereka tidak peduli dengan skandal Gacha game lain atau mencoba mengeruk sebanyak mungkin uang sebelum regulasi baru ditetapkan.
Pihak pemain juga sebenarnya bertanggung jawab atas situasi ini. Materi populer game gacha seringkali bukanlah tentang memainkan gamenya sendiri, tetapi tentang streaming atau screenshot pembelian besar-besaran, penarikan gacha yang menghabiskan puluhan jam, tarikan “dewa” yang kemungkinan terjadinya 1:1 Milyar, atau sekedar pamer status/unit di social media.
Segala hal tersebut seringkali “menginspirasi” pemain lain yang ingin posisi atau respek yang lebih tinggi di dalam game untuk menarik gacha juga. Walaupun tidak sedikit juga pemain yang tidak terima waifu idamannya dipegang orang lain dan akhirnya memberi sesajen pada Dewa RNG.
Salah satu “korban” untuk alasan sebelumnya adalah staff JOI, Nanamiku; yang baru-baru ini menghabiskan 11,7 Juta Rupiah untuk mendapatkan SSR Limited Takagaki Kaede yang hanya akan muncul 10 hari saja. berikut adalah hasilnya:
Argumen seperti “Duit mereka, Urusan mereka” mungkin memang valid disini, namun kontra-argumen seperti apa “Kalau sudah sampai kayak gini, apa bedanya Gacha sama narkoba?” juga sering balik dilayangkan. Saya sendiri tidak benci Gacha, namun melihat semua kasus populer tentang gacha selalu saja berhubungan dengan konsumsi yang irasional, saya semakin diyakinkan bahwa konsumen perlu dilindungi dari diri mereka sendiri.
Jadi ada apa dengan Gacha? Apa yang terjadi sekarang adalah industri yang mayoritas pendapatannya disebabkan oleh kelemahan di perundangan negara, komunitas yang selalu dihubungkan dengan konsumsi berlebihan, dan akhirnya berujung pada ekosistem yang seperti sekarang ini.
Saya tidak menyarankan Gacha dihapuskan, namun regulasi yang baik dapat mendukung konsumsi yang lebih sehat dari para pemain, mengurangi skandal yang cenderung menakuti para investor, dan yang paling penting, mengembalikan kepercayaan para pemain pada developer game.
Gambar Header: Tsunamayo
The post [JOI Weekend] Ada Apa Dengan Gacha? appeared first on Jurnal Otaku Indonesia.